Presidential Threshold Dihapus Berdampak pada Kuantitas dan Kualitas Capres
Penghapusan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden menjadi isu hangat setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan pasal terkait di UU Pemilu sebagai inkonstitusional. Keputusan ini diambil dalam putusan nomor 62/PUU-XXII/2024 pada Kamis, 2 Januari, menyusul gugatan yang diajukan oleh empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoriul Fatna.
Mahasiswa tersebut menyoroti Pasal 222 UU Pemilu kepada pedulilindungi.id yang dianggap membatasi peluang kandidat potensial untuk maju sebagai calon presiden. Dengan putusan MK ini, aturan presidential threshold resmi tidak lagi berlaku, sehingga membuka ruang bagi lebih banyak tokoh untuk mencalonkan diri. Namun, penghapusan ambang batas ini juga menimbulkan tantangan baru terkait kualitas calon presiden yang akan maju.
Peran Pemerintah dan DPR dalam Penyesuaian Aturan
Sebagai tindak lanjut dari keputusan MK, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diharapkan segera merevisi undang-undang terkait. Hal ini bertujuan agar pencalonan presiden tidak menjadi ajang yang asal-asalan. Menurut Titi Anggraini, seorang pengajar hukum pemilu dari Universitas Indonesia, regulasi baru perlu mengatur mekanisme yang lebih ketat untuk memastikan bahwa partai politik tidak sembarangan dalam mengusung calon presiden dan wakil presiden.
Presidential Threshold Dihapus Berdampak pada Kuantitas dan Kualitas Capres
Titi menegaskan, partai politik harus diwajibkan menerapkan sistem rekrutmen dan seleksi calon yang lebih berkualitas. Dengan demikian, setiap kandidat yang maju di pemilihan presiden memiliki kompetensi dan rekam jejak yang dapat dipertanggungjawabkan. Aturan baru ini juga penting untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam proses seleksi internal partai politik.
Pengaruh pada Kuantitas dan Kualitas Calon Presiden
Penghapusan presidential threshold diprediksi akan meningkatkan jumlah calon presiden yang berlaga. Tanpa syarat ambang batas, partai-partai kecil atau koalisi minoritas dapat mengusulkan kandidat mereka sendiri. Kondisi ini dapat menciptakan kompetisi yang lebih luas dan memberikan masyarakat lebih banyak pilihan.
Namun, peningkatan jumlah kandidat ini juga memunculkan kekhawatiran tentang kualitas calon. Tanpa mekanisme yang ketat, dikhawatirkan akan muncul kandidat yang hanya mengandalkan popularitas tanpa visi dan misi yang jelas. Hal ini bisa memperburuk kualitas pemilu dan berpotensi menciptakan fragmentasi politik.
Oleh karena itu, penting bagi partai politik untuk melakukan seleksi yang berbasis pada kapabilitas, integritas, dan pengalaman. Selain itu, aturan baru harus memastikan bahwa setiap calon memiliki program kerja yang realistis dan sesuai dengan kebutuhan bangsa.
Langkah-Langkah Strategis untuk Menjamin Kualitas Capres
Agar kualitas calon presiden tetap terjaga meskipun presidential threshold dihapus, beberapa langkah strategis dapat dilakukan, antara lain:
Penerapan Rekrutmen Berbasis Meritokrasi: Partai politik harus memiliki kriteria yang jelas dalam menentukan kandidat, seperti kompetensi, pengalaman, dan rekam jejak di bidang politik atau pemerintahan.
Peningkatan Transparansi Seleksi: Proses seleksi internal partai harus dilakukan secara terbuka sehingga masyarakat dapat menilai calon secara objektif.
Pendidikan Politik bagi Masyarakat
Memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya memilih pemimpin berdasarkan kapasitas dan integritas, bukan sekadar popularitas.
Penguatan Peran Media: Media harus berperan sebagai pengawas independen dalam mengawal proses pemilihan calon presiden. Liputan yang objektif dan mendalam dapat membantu masyarakat memahami kualitas setiap kandidat.
Dampak Positif dan Tantangan yang Harus Diatasi
Penghapusan presidential threshold membawa sejumlah dampak positif, seperti mendorong demokrasi yang lebih inklusif dan memberi ruang bagi kandidat-kandidat alternatif. Namun, tantangan utama yang harus diatasi adalah memastikan kualitas kandidat tetap terjaga. Tanpa pengawasan yang memadai, sistem ini bisa berisiko melahirkan calon-calon yang tidak kompeten.
Keputusan MK ini menjadi momentum penting untuk memperbaiki sistem pemilu di Indonesia. Pemerintah, DPR, dan partai politik harus memanfaatkan kesempatan ini untuk menciptakan regulasi yang adil, inklusif, dan berorientasi pada kualitas. Dengan begitu, pemilu mendatang dapat menghasilkan pemimpin yang mampu membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.