Boikot Rumah Makan Padang Berlisensi IKM: Dinilai Rasis oleh Warganet
Rumah makan Padang dengan lisensi resmi Ikatan Keluarga Minang (IKM) tengah menjadi sorotan setelah muncul seruan boikot dari warganet. Keberadaan rumah makan dengan lisensi ini biasanya ditandai dengan stiker khusus yang ditempel di etalase depan bertuliskan “Rumah makan ini asli masakan Minang Lisensi IKM.” Fenomena ini mencuat seiring dengan razia yang dilakukan oleh Organisasi Masyarakat (Ormas) Perhimpunan Rumah Makan Padang Cirebon (PRMPC).
Razia PRMPC dan Kontroversi Lisensi IKM
PRMPC, yang diketuai oleh Eriyanto, baru-baru ini menggelar razia di wilayah Cirebon untuk memastikan bahwa hanya rumah makan Padang asli yang memiliki hak menyematkan label “Masakan Padang.” Razia ini menurut pedulilindungi.id dipicu oleh penemuan rumah makan yang mengklaim menyajikan masakan Padang namun dikelola oleh warga dari daerah lain, seperti Yogyakarta dan Tegal. Pemilik rumah makan tersebut dikenal menawarkan harga yang lebih terjangkau, mulai dari Rp8 ribu hingga Rp10 ribu per porsi.
Boikot Rumah Makan Padang Berlisensi IKM: Dinilai Rasis oleh Warganet
Menurut Eriyanto, penggunaan nama “Masakan Padang” pada rumah makan tanpa lisensi IKM dinilai merugikan pelaku usaha asli Minang. Ia menyebut bahwa lisensi ini penting untuk menjaga kualitas dan keaslian cita rasa masakan Minang. “Kami ingin melindungi kuliner tradisional Minang dan memastikan pelestariannya dilakukan dengan cara yang tepat,” jelasnya.
Reaksi Warganet: Tuduhan Rasisme
Tindakan PRMPC dan keberadaan lisensi IKM ini memicu beragam tanggapan dari masyarakat, khususnya warganet. Banyak yang menganggap langkah tersebut bersifat diskriminatif. Seruan boikot pun mulai digaungkan di media sosial, dengan tuduhan bahwa regulasi ini membatasi kebebasan usaha dan dianggap sebagai bentuk rasisme terhadap pengusaha dari luar suku Minang.
“Kenapa harus dibatasi dengan lisensi IKM? Apakah ini berarti yang bukan orang Minang dilarang menjual masakan Padang?” tulis seorang pengguna media sosial. Komentar lain menambahkan, “Ini tindakan yang tidak adil. Masakan adalah warisan bersama, siapa saja berhak menghidangkannya.”
Meski begitu, beberapa pihak mendukung langkah PRMPC dengan alasan menjaga keaslian kuliner tradisional. Menurut mereka, masakan Padang adalah bagian dari identitas budaya Minang yang perlu dilindungi agar tidak mengalami penurunan kualitas.
Perspektif Pengusaha Rumah Makan
Sejumlah pemilik rumah makan Padang yang bukan berasal dari Sumatera Barat menyuarakan ketidaksetujuan mereka terhadap aturan lisensi IKM. Bagi mereka, memasarkan masakan Padang tanpa embel-embel lisensi tidak berarti merendahkan kualitas. “Kami hanya ingin membawa rasa masakan Padang ke daerah lain dengan harga yang bisa dijangkau semua kalangan,” kata salah seorang pemilik rumah makan.
Pengusaha ini menambahkan bahwa keahlian dalam memasak tidak terbatas pada suku atau asal daerah. “Kami belajar resepnya dengan sungguh-sungguh, bahkan bekerja sama dengan juru masak Minang asli untuk memastikan rasa yang autentik,” jelasnya.
Mencari Titik Temu
Perselisihan ini menyoroti pentingnya dialog antara pelaku usaha, organisasi budaya, dan masyarakat. Perlindungan terhadap kuliner tradisional memang penting, namun penerapannya harus bijaksana dan tidak memicu konflik sosial. Salah satu solusi yang dapat dipertimbangkan adalah sistem sertifikasi yang bersifat inklusif, di mana siapa saja yang memenuhi standar tertentu dapat memperoleh lisensi.
Melalui pendekatan ini, keaslian rasa masakan Minang tetap terjaga, sementara pengusaha dari luar komunitas Minang dapat terus berkontribusi dalam mempopulerkan masakan tersebut. Kolaborasi antara IKM dan pengusaha non-Minang dalam bentuk pelatihan dan sertifikasi bisa menjadi jalan tengah yang menguntungkan kedua belah pihak.
Kesimpulan
Seruan boikot terhadap rumah makan Padang berlisensi IKM menunjukkan kompleksitas dalam melindungi warisan budaya tanpa mengorbankan semangat inklusivitas. Di satu sisi, melestarikan cita rasa asli masakan Minang adalah hal yang penting, namun di sisi lain, aturan yang dianggap diskriminatif berpotensi menimbulkan perpecahan dan ketidakadilan.
Perlu adanya dialog terbuka untuk mencari solusi yang adil dan memajukan usaha kuliner di Indonesia tanpa menghilangkan identitas dan rasa hormat terhadap budaya asal.